Minggu, 12 Desember 2010

Psikologi Perkembangan, Defence Mechanisme

Mekanisme Pertahanan Diri Manusia

Oleh : DEWI ULFAH ARINI, Psikolog
Directure of ToBee Consulting Psychology.

Setiap orang memiliki tingkat toleransi tertentu yangtidak selalu sama setiap saat. Dalm menghadapi frustasi dan ketegangan. Bila suah mencapai tingkat toleransi itu atau bahkan sudah melebihinya, ketegangan perlu dilepas dengan beberapa jenis perilaku yang bisa diterima atau yang sifatnya defensive ( pertahanan ). Orang yang bersangkutan harus memilih jenis tingkah laku mana yang akan dipergunakannya untuk mempertahankan integritasnya kalau ia gagal meraih apa yang diinginkan dan merasa frustasi.
Perilaku seperti agresi tersembunyi, substitusi, menarik diri, proyeksi supresi (menekan), reaction formation, merupakan kategori mekanisme pertahanan diri yang biasa dipakai untuk melepaskan ketegangan.
Dalam penjelasannya mengenai mekanisme pertahanan diri adalah:
1. Agresi
Perilaku yang ditujukan untuk menyakiti seseorang atau merusak sesuatu benda. Seorang anak yang sering melihat, menonton atau mendapatkan perlakukan kekerasan dalam dirinya, lebih banyak melakukan pertahanan dirinya dengan kekerasan atau bersifat agresif, baik itu secara verbal maupun secara non verbal.
Agresif secara verbal adalah bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan ucapan atau kata-kata yang ditujukan untuk menyerang seseorang, seperti mengolok-olok, menyindir atau marah-marah. Sedangkan untuk Agresifitas secara non verbal adalah bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan tidak kekerasan secara fisik, seperti memukul, menendang, menjambak dan menggigit, dll.
2. Substitusi
Bisa menerima atau puas dengan sasaran pengganti, untuk menggantikan tujuan yang diinginkan.
3. Menarik Diri
Menarik diri secara intelektual, emosional maupun fisik
4. Proyeksi
Mekanisme mempertahankan ego dengan menyalahkan orang lain atas keinginan-keinginannya dan dorongan-dorongan dalam dirinya yang tidak bisa diterima.
5. Supresi
Secara sadar menekan keinginan atau dorongannya
6. Reaction Formation
Mekanisme untuk mempertahankan ego, dimana yang bersangkutan dengan sadar bersikap dan berperilaku kebalikan dari berbagai keinginan bawah sadarnya yang tertekan.

Seperti yang kita ketahui bahwa, pandangan seseorang mengenai kemampuan dan tingkat keberhasilan yang dimilikinya sebagian besar didasarkan pada sejarah sukses dan kegagalan dilingkungan sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.

Kamis, 30 September 2010

MASALAH PERNIKAHAN

ARTI SEBUAH PERNIKAHAN
oleh: Dewi Ulfah Arini, Psikolog
Psikolog Lembaga Konsultan Psikologi ToBee

“Bukalah Mata Lebar-Lebar sebelum Menikah dan Setengah Pejamkan setelahnya”
-Thomas Fuller-

Pernikahan adalah bersatunya seorang laki-laki dan perempuan dalam membentuk satu keluarga yang disahkan secara Agama, Hukum Pemerintahan maupun Adat. Sebuah pernikahan berarti mengikat keduanya secara lahiriah dan bathiniah dan harus pula ada persetujuan antara keduanya. Karena tidak akan berlangsung dengan baik hubungan suatu pernikahan jika hanya salah satu pihak yang menyetujui dan tidak memiliki persetujuan oleh pihak lain. Disamping itu kesiapan mental dari kedua pasangan dalam menjalani bahtera rumahtangga nantinya pun harus dipersiapkan dengan matang Jika tidak, maka seringkali kita mendengar adanya kegagalan-kegagaglan dalam rumah tangga, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan salah satu pihak tersakiti.
Kegagalan sebuah pernikahan yang seringkali kita dengar baik dilingkungan sekitar maupun melalui infotainment saat ini merupakan hal yang wajar dan tidak lagi tabu. Kemanakah kesakralan suatu pernikahan itu saat ini? Kemanakah dongeng indah saat masa pacaran perginya? Apakah tidak melihat dongeng indah orangtua kita menegnai pernikahan yang dijalani sampai usia tua? Mungkinkah arti sebuah pernikahan sudah tergerus oleh modernisasi zaman atau teknologi yang tinggi?
Pada pasangan yang mengaku dirinya menganut paham modernisasi, nilai-nilai kesakralan itu telah terkikis oleh arus modernisasi yang mengartikan kesakralan itu berebda dengan sebelumnya. Selain itu, sekarang ini muncul nilai-nilai baru yang menggeser gaya pernikahan tradisional, perubahan gender dalam pernikahan, harapan akan kepuasan seksual dari pasangan yang meningkat, jam kerja yang melelahkan pasangan yang sukses dalam karir, semuanya menjadikan suatu pernikahan yang menekan. Bahkan saat ini kesakralan suatu pernikahan sudah dikikis oleh kesenangan duniawi dan moral dan etika yang berlaku pun mulai bergeser, sehingga bagi sebagian orang kehadiran anak dapat mengancam pernikahan itu sendiri. Dengan adanya hal tersebut maka akan timbul budaya pasca pernikahan yang diwarnai dengan :
1.Perceraian sebagai jalan keluar terbaik
2.Pernikahan hanya masalah anak, jika tidak punya anak maka tidak masalah apakah kita dapat hidup bersama, menikah atau membujang
3.Pernikahan mungkin baik bagi laki-laki namun tidak bagi perempuan
4.Menganjurkan pernikahan dan kewajian dalam pernikahan berarti bagi sebagian orang yang menganggap suatu pernikahan buruk adalah menempatkan wanita dalam bahaya
5.Pernikahan pada intinya merupakan urusan pribadi, urusan hati dua orang dewasa, bukan urusan orang luar.
Bahkan bagi kaum 'feminis' bahwa pernikahan merupakan perkosaan, pembudakan yang dilegalisasikan. Jika begitu, apa sebenarnya makna dari suatu pernikahan jika menganggap bahwa pernikahan itu adalah hal yang negatif, sehingga makna pernikahan itu sendiri sangat lemah. Padahala dalam setiap AGAMA diwajibkan jika lelaki atau perempuan yang sudah siap dan dewasa diwajibkan menikah, untuk memperbanyak kaum, untuk menghormati wanita dan menghindari diri dari perzinahan.
Sebenarnya, makna pernikahan bukan sebagai urusan pribadi kedua pasangan tersebut, tetapi juga memiliki makna sosial sekaligus. Kedua makna ini tentunya harusbersinergi satu dengan lainnya.

Reff: Intisari - Kiat Mengatasi Badai Pernikahan, LK Suryani, 2007.

GANGGUAN KEPRIBADIAN

SULIT TAMPIL DIMUKA UMUM

Saat sedang menunggu kereta -yang telambat- di Stasiun J, saya berkenalan dengan seorang Ibu. Terlihat bahwa Ibu tersebut sepertinya terpelajar dan (mungkin) orang kantoran. Kami ngobrol mengenai banyak masalah, mulai dari gerundelan jadwal kereta yang kurang sistmatis dan terbuka, keterlambatan kereta, pemerintahan kita yang begini-begini saja dan makin parah, keluarga, suami bahkan sampai masalah anak. Hanya saja pada saat kami membahas masalah anak, terlihat Ibu tersebut sangat lesu dan hopeless. Dia bercerita bahwa:

“ Anakku laki-laki (22 tahun) baru lulus kuliah Akutansi, sampai sekarang masih nganggur. Saat ini sedang mencari pekerjaan, mbak. Kok, sepertinya suliiit sekali yah.. padahal koneksi saya dan ayahnya buanyak. Malah perusahaan yang besar-besar, tapi sepertinya dia nggak Pede untuk melamar kesana. Dengan alasan Bahasa Inggris ga bisa, apalagi kalo interview dalam bahasa Inggris. Dia langsung ga PD dan gak masuk kedalam untuk menemui interviewernya. Pernah juga loh, saya ajak ke Psikolog, dan dikasih saran untuk belajar berbicara dikelompok kecil seperti keluarga, atau kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang pemalu, dan disarankan juga berpidato didepan mereka tentang sesuatu yang dia tahu, katanya kalo ga tau malah tambah malu dan minder. Tapi mbak, disini mana ada les untuk begitu dan nyari orang-orang yang pemalu itu dimana, ya kan? Jadi menurut mbak, bagaimana nih menghadapi anak saya yang pemaluuuu banget. Ngomong sama temen-temennya aja jarang apalagi begitu.”

Aku terhenyak juga mendengar keluhan dari Ibu yang baru saya kenal ini. Laki-laki kok gak PD dengan kemampuannya? Apakah ada trauma-trauma masa lalu yang membuat anak itu ga PD yah? Bagaimana kondisi dirumah yah? Siapa yang lebih dominan, Ayah atau Ibu? Seberapa jauh ga PD-nya anak itu yah, apakah sampai keluar keringat dingin, gemeteran dan sampai menjadi gangguan fisik lainnya? Aku pun mencoba mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut.

“ Saya yakin anak saya itu pandai yah.. karena dari dulu selalu rangking terus walaupun hanya sepuluh besar, kok. Kalo soal dominan antara saya dan ayahnya, kayanya sama yah.. Kami jarang marah-marah dan kami selalu bersama-sama. Pokoknya anak itu selalu dalam pengawasan kami dan baik-baik saja dalam keluarga kami. Yah begitulah mbak, ga PD-nya sampai keluar keringat dingin, trus kalo udah mau masuk ruang interview langsung mules dan sakit. Pokoknya kadang bikin saya kesel juga... Saya kasian dengan dia mbak, bagaimana kehidupan dia nanti kalo begini terus.”

Wah, aku lupa yah... kalo orangtua itu selalu merasa “perfecto” (ngaku...!!) dan merasa lebih baik dan berpengalaman dari anak, dan yang paling penting Orangtua itu ga akan terbuka dengan oranglain tentang pola asuh yang diterapkan dirumah. Apalagi menyangkut trauma-trauma anak, selain itu aku kan masih baru kenal. Yah.. sudahlah..!( kata BONDAN...;) ). Aku berusaha memberi saran (bukan jalan keluar loh, abis digrattisin siii..)
“Bu, saya sangat memahami persaan dari anak Ibu, apalagi itu laki-laki dan anak pertama pula. Yang menjadi contoh dan tumpuan nantinya bagi orangtua, keluarga dan adiknya. Saya juga memahami benar kesulitannya dalam mengadakan komunikasi verbal dengan oranglain. Gejala yang dilamai oleh anak Ibu, menurut pengalaman saya adalah berangkat dari PERSEPSI (cara pandang) anak Ibu terhadap CITRA DIRInya. Pengalaman menunjukkan, seseorang yang mudah melakukan komunikasi dengan orang lain (ceramah, pidato atau interview) biasanya adalah orang yang menguasai benar kelmahan dan kelebihan dari orang itu. Begitu pula dengan anak Ibu. Disamping itu kita juga harus mengetahui dan memahami apa yang menjadi tujuan dan yang harus dilakukan dalam situasi seperti itu. Kalo sampe ada gangguan fisik pada anak Ibu, itu namanya PSIKOSMATIS bu. “
“Jadi anak harus secara INTENSIVE diberikan pemahaman dan mempelajari memberikan PERSEPSI POSITIF terhadap anak Ibu. Sekarang banyak kok bu, dibuka kursus-kursus untuk PUBLIC SPEAKING atau PENGEMBANGAN DIRI. Kan informasi sekarang lebih luas Bu...
Oya, Bu pengalaman masa lalu juga turut berperan penting loh, tapi kita juga jangan terlalu terpaku dengan trauma atau pengalaman masa lalu anak. Yang penting kedepannya aja bu. Tapi kayaknya juga perlu bu, ditelusuri tentang bakat dan minat anak supaya nanti anak mengetahui kelebihan dan kekurangan anak. Dukungan orangtua dan keluarga sangat penting Bu, untuk pemahaman PERSEPSI POSITIF anak. Kalo bisa sering-sering aja bu, diajak kumpul-kumpul dengan saudara atau masukkan aja kedalam kelompok yang sesuai dengan bakat dan minat anak. Dari situ anak akan belajar berkomunikasi dan mengutarakan ide atau gagasan.”

Ibu itu mengangguk-angguk.. (kayanya sih setuju dan mengerti... semoga..). Aku hanya tersenyum dan terakhir dengan ciri khas saya “ Yah, begitulah Bu, semoga bermanfaat yah..”
TENG TONG TENG TONG.............Bel tanda kereta datang dan Pengumuman dari suara Pak Petugas Stasiun mengumumkan kedatangan kereta dengan “merdunya”. Wah, kereta kami sudah tiba. Alhamdulillaaaahhh... penantian panjang kami hilang sudah. Lalu kami bersalaman dan bertukar nomer telpon, semoga lain kali bisa bertemu kembali dengan suasana dan diskusi yang berbeda. “Ok Bu, Selamat Jalan dan Semoga sampai di Tujuan dengan Selamat”, kataku.



True Story of my trip to J city


Dewi Ulfah Arini, Psikolog
Psikolog Lembaga Konsultan Psikologi ToBee

Mengoptimalkan IQ dan Multiple Intelligences Anak


Mengoptimalkan
IQ dan MULTIPLE INTELLIGENCES
oleh: Dewi Ulfah Arini, Psikologi
Psikolog Lembaga Konsultasi Psikologi Tobee

Setelah hasil tes IQ dibagikan di TK X, seorang Bunda dengan sedih menerima amplop hasil anaknya. Seakan-akan tidak percaya dengan hasil yang baru saja diterima. Dalam hati beliau bertanya-tanya, “anakku kayanya pinter deh, tapi kok IQ-nya segini aja yah? Si A, kayanya biasa-biasa aja tapi malah IQ-nya tinggi sekali.”

Diatas adalah salah satu fenomena yang seringkali terjadi ketika anak kita dilakukan Tes IQ. Kenapa kok, anak kita sepertinya pintar tapi kenapa hasil IQnya rendah atau sebaliknya. Hal ini menjadi salah satu kegelisahan orangtua yang kemudian langsung memaksa anak untuk lebih keras lagi belajar. Hal yang sangat salah jika menjadikan Tes Intelegensi (IQ) yang dilakukan oleh anak untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman anak terhadap informasi verbal dan non verbal, dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan anak. Padahal pada dasarnya IQ tersebut hanya mengukur sebagian kecil intelegensi atau kecakapan anak. IQ yang dimiliki oleh seseorang, dan ini bukanlah acuan bahwa anak tersebut cerdas atau berbakat.

Pada intinya Tes IQ, hanya mengukur antara lain:
  1. Kemampuan membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara runtut atau menyeluruh, mencari hubungan antara satu bentuk dengan bentuk lainnya.
  2. Kemampuan Matematis
  3. Kemampuan mengenali, meyambung dan merangkai kata-kata dan mencari hubungan kata
  4. Memori atau Daya ingat
Namun, yang seringkali kita temukan dilapangan kalau tes IQ dapat mengeluarkan berbagai macam aspek. Padahal itu adalah penjabaran dari aspek-aspek inti yang telah ada. Oleh karena itulah, Tes IQ tidak menjadi patokan keberhasilan anak di kemudian hari, karena tes IQ tidak mengukur daya kreativitas anak, kemampuan sosialisasi anak dan kearifan anak, sehingga seringkali muncul pertanyaan “seberapa pandaikah saya?” dalam diri anak atau “ seberapa pandaikah anak saya?”
Pada dasarnya, hal ini tidak perlu terjadi jika orangtua mengenal kecerdasan lain dari anak yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan sehingga anak dapat percaya diri, kreatif dan dapat lebih meningkatkan potensi belajar anak. Sehingga pertanyaan diatas akab berubah menjadi “Bagaimana saya menjadi pandai?”

Setiap manusia dilahirkan dengan sejumlah kecerdasan dapat potensial yang siap dikembangkan, dengan mengetahui perkembangan Multiple Intelligences, kita dapat meningkatkan kemampuan kita dan menggapai cita-cita dan tujuan hidup kita. Kita perlu mengetahui berbagai potensi kecerdasan anak yang dikenalkan oleh Dr. Howard Gardner terdiri dari 8 buah kecerdasan dalam diri setiap manusia, antara lain:
  1. Kecerdasan Linguistik/Bahasa
Individu dengan kecerdasan verbal memiliki cirri khas : dapat membaca dan menulis dengan cepat, berkomunikasi (dalam bahasa ibu ataupun bahasa asing) dengan mudah
  1. Kecerdasan Logika Matematis
Keterampilan dalam mengolah angka dan perhitungannya, daya nalar hitungan berkembang baik, memiliki ketepatan dan ketelitian jika berhubungan dengan angka, kemampuan menyelesaikan masalah secara logis
  1. Kecerdasan Gerak
Menonjol dalam mengkoordinasikan dan ketangkasan fisik, terampil dalam motorik kasar maupun halus, spontan, control gerakan baik atau belajar melalui praktek langsung


  1. Kecerdasan Spasial
Pengamatan yang tajam terhadap lingkungan disekitarnya. Memiliki imajinasi yang tinggi sehingga dapat mennghasilkan ide-ide yang kreatif, memiliki abstaksi ruang yang baik.
  1. Kecerdasan Musik
Kepekaan terhadap perbedaan bunyi, dapat mengekspresikan diri melalui musik dan trampil dalam mengikuti irama atau menari.
  1. Kecerdasan Intrapersonal
Peka terhadap kondisi yang ada disekitarnya, ia pun cukup pham kebutuhannya, pandai dan peka dalam mengenali emosi sendiri.
  1. Kecerdasan Interpersonal
Memahami cara berkomunikasi yang baik sesuai dengan orang yang dihadapi, mampu bekerjasama. Pandai memahami pikiran dan perasaan orang lain.
  1. Kecerdasan Naturalis
Pandai dan peka dalam mengamati sifat-sifat alam. Juga kemampuan untuk bekerjasama dan menyelaraskan diri dengan alam dan senang berada di lingkungan alam dan udara terbuka.

Terdapat satu kecerdasan yang masih dalam perdebatan oleh para peneliti, apakah termasuk dalam salah satu kecerdasan majemuk ataukah diluar dari kecerdasan tersebut, yaitu

  1. Kecerdasan Taransendental / Rohani ( SQ)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dengan memiliki naluri keTuhanan, yaitu naluri adanya kekuasaan Transendental diluar dirinya dan diyakininya bisa memberik kekuatan, ketenangan, semangat bahkan rezeki dan hukuman.
Untuk mengembangkan kecerdasan seorang anak, diperlukan tiga kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan fisik, emosi dan stimulasi dini dari orangtua dan lingkungan.

Pada dasarnya, saat ini kembangkanlah potensi anak yang lain karena anak memiliki karakter dan potensi masing-masing. Setiap anak memiliki ke-khasan masing-masing suka dan tidak suka harus bisa memahami potensi anak dan kembangkan dengan baik. Tuhan tidak menciptakan manusia dalam keadaan bodoh dan hina Namun lingkunganlah yang menciptakan stigma tersebut. 

Yuk, Bunda dan Ayah bangun rasa percaya diri dan konsep positif pada anak, karena dapat meningkatkan kemampuan anak secara optimal. Hindari kata negatif yang dapat memicu anak pada kondisi ketidakstabilan dan rasa tak mampu pada diri anak.

Pemerhati anak
Dosen Universitas Pamulang
Konselor dan Psikolog
Tobeekonsultan@gmail.com

Rabu, 15 September 2010

TERAPI POSITIF UNTUK ORANGTUA

PERNAHKAN MEMANDANGKU, BUNDA?
(Suara Hati Seorang Bunda )


Suatu ketika saya sedang menunggu kepulangan Buah Hati Tercinta di TKS X, kami para orangtua saling berbincang-bincang mengenai anak kami masing-masing. Kebetulan aku sedang ngobrol dengan seorang ibu yang cukup dekat dengan anakku. Sebagai pendengar setia, aku memperhatikan beliau yang sangat 'heboh' menceritakan kenakalan anak pertamanya itu padaku. Dengan penasaran aku mencoba bertanya “apa aja sii Mam kenalakan anak Mama?”
Dengan Semangat '45 dia menceritakan kalau :
si Kakak selalu menggangu Adiknya yang sedang tidur sehingga menangis dan pekerjaan rumah Ibu jadi terhambat dan terganggu.
Si Kakak selalu merusak mainan yang baru saja dibeli alias “terima bongkar tidak terima pasang”.
Si Kakak terkadang mendapat teguran dari guru kelas atau dari teman-temannya kalau ada saja yang diperbuatnya walaupun bukanlah kenakalan suatu anak, hanya sebagai bentuk keingintahuan anak (menurut saya), juga nilai pelajarannya yang agak kurang, suka mengeluh capek waktu belajar dan harus selalu diberi motivasi supaya si Kakak menjawab dengan baik walapun sebetulnya dia Mampu.
dan masih banyak lagi bentuk kenakalan (menurut Mamamnya loh..) lainnya, seperti : selalu ngeberantakin mainannya, selalu ngeberantakin kamar, dll. Intinya selalu membuat Mama marah, kesal dan sebel dengan keberadaan anak. Sang Mama pun bercerita tidak hanya ucapan yang dilontarkan dengan nada pedas dan kata-kata kasar untuk anak tetapi juga tindakan keras diberikan sebagai 'hadiah' bagi anak ketika anak sedang melakukan sesuatu yang 'nakal', tapi gak mempan.
Aku bertanya: “ tapi kan Y selalu rangking Mam dan prestasinya sangat memuaskan kok. Udah gitu pinter baca, tulis dan hitung lagi. Kurang apa sih Mam?”
Si Mama menjawab, “ Emang sih, tapi itu mah ga penting mbak, dulu aku juga gitu kok trus papah-nya juga slalu juara. Biasa lagi begitu dikeluarga besar aku. Bukan hal yang heboh dan patut dibanggakan.”
Aku kaget, dalam hati aku berkata, Wah, ini orang ga bersyukur banget dengan prestasi anaknya? Mmm, sepertinya ada sesuatu yang ga beres nih.. ( Insting Psikolog muncul...;) )
Aku bertanya, “Bagaimana dengan adiknya bun?”
Sang Bunda berucap,”kalau adiknya sih, lucu banget dan menggemaskan, tidak ada yang aneh-aneh deh dari adiknya itu.”
Aku cukup sedih mendengarkan kisah Mama Y,padahal kalau aku lihat sepertinya Y cerdas dan baik. Tidak ada yang 'aneh' dengan anak itu.
Aku mulai penasaran dan banyak bertanya tentang kehamilan si Y, masa kecil Y dan kehidupan Y juga kehidupan teman aku ini.
Si Mama Cerita, “Ya mbak, saat aku hamil Y, aku masih muda dan masih belum bisa memandang anak itu dengan lucu, intinya aku belum siap jadi seorang ibu. Dan sepertinya aku mengalami Baby Blues. Ketika itu aku sangat membutuhkan seseorang yang bisa mengayomi, menyayangi dan membimbing aku ternyata suami tidak bisa mendukungku dan tidak memberikan ketenangan bathin selama aku melahirkan dan membesarkan anak itu. Aku selalu menganggap kalau Y adalah suatu bencana yang membuat hidupku tidak dinamis lagi. Sejak ada Y banyak konflik aku jalani, dan tidak ada orang yang bisa mem-backup Aku. Jadi otomatis Aku selalu memperlakukan Y dengan keras sebagai bentuk pelarian aku dan pengeluaran emosi serta dengan berbagai macam alasan lainnya. Padahal, Y itu tidak salah mbak dan selalu juara dikelas, selalu mendapatkan prestasi dikelas. Tapi sepertinya aku tidak menghargai apa yang sudah didapat oleh Y dengan susah payah.”
Si Mama terdiam setelah menceritakan kegundahannya selama ini.
Oo, ternyata itu yang menjadi anak tersebut negatif dimata Mamanya. Itu yang menjadi anak tersebut dapat label jelek dimata Mama pula. Dan setiap mama marah pada Y atas perbuatannya, Si Mama tidak kasih tau mana perbuatan Y yang salah dan Yang benar, sehingga Y tidak tau mana kesalahannya dan kalaupun kesalahnnya diperbaiki, si Mama idak menghargainya. So sad...
Tidak tahukah kau Bunda, kalau dalam hati Y, dia pun punya banyak pertanyaan,
“APA SALAHKU? 
APA YANG MEMBUAT MAMA MENJADI EMOSI BESAR KETIKA AKU MELAKUKAN INI ATAU ITU? 
KENAPA ADIK TIDAK SEPERTI ITU? 
KENAPA MAMA TIDAK PERNAH MEMANDANGKU? 
AKU HARUS BAGAIMANA MAMA?”
Sebagai seorang teman, aku hanya meminta Mama Y untuk bisa menerima dengan positif anak tersebut. Tidak adil kan buat Y kalau dia yang dianggap sebagai “biang keladi” masalah tersebut. Mama, dia hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dan pengakuan dari seorang MAMA. Jika apapun yang dikerjakannya salah, tidakkah dia akan BELAJAR menjadi seorang penjahat kecil yang tidak tau apakah itu benar atau salah, tidak bisa menghargai diri apalagi orang lain, karena dia TIDAK DIHARGAI oleh orang terdekatnya.
Mama, tidakkah seharusnya kamu berterimakasih pada TUHAN, kalau dia sudah memberikan seorang ANAK yang cerdas dan kuat. KUAT? Ya Mama, Y cukup kuat untuk menerima perlakuan-perlakuan kasar dan ucapan-ucapan kasar dari Mamanya dan Y tetap mencari Mamanya dalam keadan apapun.
Sebelum beranjak DEWASA, ajaklah Y untuk menjadi teman bercerita, jangan pernah menghakimi dia lagi dengan berlebihan dan jangan pernah lagi MEMBANDINGKAN antara anak yang satu dengan lainnya. Berikan perlakuan yang sama diantara mereka dan yang lebih penting segeralah untuk MEMINTA MAAF pada Y, walau Y tidak tahu untuk apa dan kenapa Mamanya berbuat seperti itu.
TERIMA Y sebagai seorang buah hati yang sudah dilahirkan olehmu dengan susah payah dan dia yang selalu ada didekatmu ketika kamu jatuh dan terluka dahulu. Dia yang selalu ada disaat Mamanya sakit dan Senang, bukan oranglain.
Semoga Mama Y bisa menerima semua nasehat dan pesan dari seorang SAHABAT. Bunda, TUHAN tidak pernah memberikan sesuatu yang sulit dan diluarjangkauan kita sebagai hambaNya.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya berharap kalau aku tidak seperti itu, SEMOGA AKU BISA MERAWAT DAN MEMBESARKAN ANAK-ANAKKU dengan BAIK dan SHALEH. AMIN.


True Story of my Friend
Warm Regards,

Oleh : DEWI ULFAH ARINI, Psikolog 
Psikolog dari Lembaga Konsultan Psikologi ToBee

PENGALAMAN SEKOLAH BARUKU....

SEKOLAH, BAGAIMANA NIH..??!!!
Oleh : DEWI ULFAH ARINI, Psikolog
Psikolog dari Lembaga Konsultan Psikologi ToBee

Suatu malam, aku melihat anakku Ami terlihat gelisah dengan berjalan bolak-balik dari ruang keluarga ke kamarnya. “Ibu, Apa lagi yah yang kurang? Baju udah, buku udah trus tempat pensil dan tas udah, mukenah udah... apa lagi ya?” sambil mengeluarkan isi tas dan memasukkannya kembali. “Ohya, baju ganti dan sajadah bu.., ini boleh aku pakai yah disekolah?” aku hanya melirik dan mengangguk pelan. Dengan cepat kilat diambilnya kedua barang tersebut dan dimasukkannya kedalam tas. Kemudian, Ami mendekat padaku “ Bu, kelas 1 itu seperti apa sih? Susah ya bu? Gurunya galak ga sih, soalnya kata Mbak Dinda gurunya Galak? Gimana nih? Trus kalau nanti Ami ga ada temen gimana?” dan segunung lagi kekhawatiran yang disampaikan oleh Buah hatiku ini. “Kelas 1 itu sama kaya Ami mau masuk TK dulu. Udahlah Ga apa-apa kok nak, kan Ada Allah yang selalu menjaga dan menemani Ami disana. Lagipula, Ami belum tahu besok gimana? Yang penting Ami PD aja, Ibu yakin Ami pasti BISA” Aku berusaha menenangkan hatinya yang gundah dan penuh dengan kehawatiran itu. Tapi Ami masih saja penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai sekolah. Aku berusaha mengalihkan dengan bertanya, “ Ami, seragam, sepatu, kaoskaki dan pakaian dalam udah disiapkan belum, mi?”. “ SUDAH BU..” dengan sigap Ami menjawab.
Keesokan paginya, Ami bangun pagi-pagi sekali dan masih dengan berbagai pertanyaan yang sama dengan semalam. Sambil memakaikan baju Ami, kemudian aku memeluk dan mencium pipi Ami, sambil mencoba untuk menguatkan hati Ami. Aku berkata:
“Sayang, Ibu Sayaaaaannnggg banget sama Ami, terus Anak Ibu yang paling disayang kan adalah AMIRA, karena kamu anak Ibu yang paling HEBAT. Ibu harap kamu jadi anak yang baik, shaleh dan bisa mengajarkan adik kamu kelak, karena kamu anak yang paling pintar. Makanya Ibu sekolahkan Ami disekolah yang paling Bagus. Ibu Yakin kamu pasti BISA.” Aku membisikkan kata-kata ini sambil aku selipkan bros dikerah bajunya. Aku berkata,” Ini Bros, waktu Ibu kecil dulu, supaya ibu merasa tenang. Gimana ami juga mau pake ga?” sambil tersenyum aku berusaha menenangkan hati buah hatiku yang Gelisah. Ami menganggukkan kepalanya. “Jadi kalo pake Bros ini, Ami jadi kuat ya bu?”. Aku memberikan jempol padanya. Ami mulai tersenyum lebar dan siap dengan baju seragam barunya. Malahan, ayahnya ketinggalan...
Betapa bangganya aku pada buah hatiku ini, ternyata Ami sudah besar yah.. Aku mengantarkannya sampai pintu gerbang sekolah dan membiarkan Ami masuk kelas sendiri. Dengan langkah yang tegap dan percaya diri Anakku AMIRA memasuki kelas barunya. Aku berharap Ami dapat berteman dengan kawan-kawan barunya dengan baik dan mandiri. Ketika Ami memasuki kelas baru, Ami sangat terkejut ternyata banyak teman-teman TK-nya yang masuk ke SD tersebut dan guru TK-nya yang baik bernama Mam Ella. Sekarang sudah “naik pangkat” jadi guru wali kelas di kelas I. Pantes aja, Ami sumringah ketika memasuki kelas pagi ini.
Ketika Ami memasuki sekolah barunya, aku, adik Nisa dan suamiku pulang kerumah dengan hati yang lega. Dalam hati aku berdoa semoga Ami bisa menuntut Ilmu disana dan kelak menjadi Hafidzah seperti nama yang kami berikan padanya.

Ternyata Bun, bagi anak-anak sekolah itu bisa jadi hal yang menyenangkan atau bahkan menakutkan. Tergantung dari persepsi dan pandangan yang kita berikan pada anak. Oleh karena itu, berikanlah selalu pandangan yang positif terhadap berbagai hal, walaupun copet, gelandangan sekalipun. Karena, anak belum mengetahui bagaimana suatu ketakutan ini dialihkan. Bila orangtua memberikan persepsi yang negatif pada ketakutan, anak bisa jadi akan mengalami ketakutan yang berlebihan atau fobia. Akan lebih baik bila, anak yang mengalami kegelisahan diberikan motivasi dan pandangan yang positif sehingga anak dapat lebih percaya diri, selalu berfikiran positif dan dapat mengolah emosinya dengan baik.

Semoga Sukses
Dewi Ulfah Arini, Psikolog

Senin, 13 September 2010

Pemantauan Tumbuh Kembang Anak

PEMANTAUAN TUMBUH KEMBANG ANAK
oleh: Dewi Ulfah Arini, Psikolog
Psikolog dari Konsultan Psikologi ToBee

Setiap anak memiliki timbuh dan kembang yang berbeda-beda mulai dari janin, masa balita, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa. Hal ini tergantung dengan faktor-faktor yang mendukungnya, seperti Genetika, kesehatan dan Lingkungan,.
Selain itu faktor pendidikan dari orangtua sangat mempengaruhi kognitif dari anak. Kasih sayang dari orangtua secara utuh dapat meningkatkan kemampuan afeksi dan kognitif anak. Hal ini menyebabkan anak lebih percaya diri, selalu berfikiran positif terhadap lingkungan sekitarnya dan dapat menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi dengan kreatif. Oleh karena itulah tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua sangat berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan anak.
Jika orangtua, memperlakukan anak dengan pola asuh yang PERMISIF, maka anak akan cenderung keras dan bertindak semaunya, begitu pula jika orangtua memperlakukan pengasuhan dengan sistem yang OTORITER, maka anak akan menjadi penakut dan tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Pola asuh yang DEMOKRATISlah yang sekarang menjadi acuan orangtua dalam memberikan pengasuhan pada anak, walaupun begitu harus tetap ada pengawasan dari orangtua sehingga tidak kebablasan nantinya.
Permainan intonasi suara pada orangtua juga dibutuhkan untuk menenalkan disiplin dan ketegasan pada anak. Sehingga anak mengetahui adakalanya orangtua tegas dan adakalanya orangtua lembut pada anak.
Pada dasarnya makna pertumbuhan dan perkembangan adalah berbeda, dimana petumbuhan adalah bertambah besarnya struktur sel lebih mengarah kepada faktor fisik dari seorang individu, sedangkan perkembangan adalah bertambah banyaknya jumlah sel, meliputi sel seluruh organ tubuh. Makna perkembangan secara psikologis adalah berkembanganya pola fikir seseorang menuju kedewasaan sehingga memiliki daya fikir yang makin berkembang menjadi pribadi yang cerdas dan menarik.
Walaupun proses tumbuh kembang setiap individu bervariatif, secara umum proses tersebut memiliki periode-periode tertentu.
1.Periode Prenatal, yaitu saat bayi masih berada dalam kandungan ( belum lahir )
2.Periode Infancy ( Dini ), yaitu sejak lahir sampai usia 14 hari ( 2 minggu ). Pada masa ini bayi akan berada dilingkungan baru (luar tubuh ibu)
3.Periode Baby Hood, yaitu sejak usia 2 minggu sampai 2 tahun. Awalnya, bayi sangat tergantung dengan keberadaan ibunya. Namun lambat laun, kondisi ini akan berubah. Dimana bayi akan belajar untuk mandiri karena bayi mulai ingin bergerak sendiri dan bebas serta tidak ingin digendong lagi. Dimana bayi sudah mulai ingin berjalan sendiri, belajar untuk memegang mainannya sendiri dan mulai untuk meng-eksplorasi apa yang dilihat dan dipegangnya.
4.Peride Childhood, yaitu usia 2 sampai 6 tahun dan usia 6 tahun – 12 tahun, pada masa-masa inilah anak disebut RAWAN, oleh karena anak dimasa yang tanggung. Dimana anak belum bisa dikatakan dewasa dan tidak lagi anak-anak. Masa ini disebut pula masa pertentangan dalam diri anak, karena anak belum bisa diberi tanggungjawab penuh seperti halnya seorang dewasa. Sebaiknya Orangtua menjadi tempat berbagi dan diskusi bagi anak sehingga mengurangi konflik dalam diri anak tersebut. Diharapkan suasana dan kondisi keluarga dan rumah yang hangat dapat menciptkan hal yang postif pada anak.
5.Periode Puberty, yaitu usia 12 – 16 tahun, sama halnya dengan periode childhood. Masa ini pula, jika anak tidak melalui konflik dengan baik maka pada saat anak menginjak usia remaja anak akan kurang memiliki rasa percaya diri, kurang dapat menjadi seorang pemimpin dan lebih menyerahkan tanggungjawab pada oranglain, tidak dapat mengambil sikap dan anak cenderung plinplan dan memiliki ketergantungan dengan kelompok yang tinggi.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan sehingga orangtua dan pemerhati anak dapat menegtahui tahapan-tahapan perkembangan anak dan menempatkan pola asuh yang baik pada anak nantinya.
Sebagai orangtua cerdas sebaiknya kita menerapkan pola asuh yang cerdas pula, sehingga anak-anak kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Referensi:
Buku Panduan TUmbuh Kembang Anak, BKKBN, 2010

Senin, 30 Agustus 2010

Membedakan Psikolog ASLI atau PALSU ??

Bermula dari keprihatinan penulis bahwa adanya pihak tertentu yang memalsukan profesi psikolog demi alasan persaingan usaha yang ketat maka saya cuplik dari website Himpsijaya (Himpunan Piskologi Indonesia DKI Jakarta Raya) tentang sosialisasi yg dilakukan oleh Himpsi untuk kepentingan para pengguna jasa psikologi.

http://himpsijaya.org/penting-bagi-pengguna-jasa-praktek-psikologi/
(** saya edit sedikit kata-kata kami dengan Himpsi Jaya)

PENTING BAGI PENGGUNA JASA PRAKTEK PSIKOLOGI

Kepada para pengguna jasa praktek psikologi, diharapkan agar terhindar dari praktek psikolog yang tidak bertanggung jawab silakan untuk hanya menggunakan jasa praktek psikologi dari psikolog yang telah memiliki Ijin Praktek. Bagi psikolog praktek yang merupakan anggota Himpsi Jaya, mereka dilengkapi dengan Tanda Praktek Psikolog. Bentuk Tanda Praktek Psikolog ini berupa kartu plastik / ID berwarna ungu dan bertuliskan Tanda Praktek Psikolog disertai dengan foto ybs berikut nama serta nomor Ijin Prakteknya serta masa berlakunya Ijin Praktek dengan latar belakang logo Himpsi (contoh terlampir). Setiap psikolog yang melakukan praktek psikologi akan dapat memperlihatkan kartu ini/atau Surat Ijin Praktek Psikolog yang masih berlaku.
Perlu diketahui bahwa hanya lembaga/biro jasa psikologi yang bertanggung jawab terhadap layanan jasa praktek psikologi terhadap masyarakat, akan menggunakan psikolog yang telah memiliki Ijin Praktek. Bila masyarakat menemukan mereka yang mengaku sebagai psikolog dan ternyata mereka tidak dapat memperlihatkan Ijin Praktek atau tidak dapat menunjukkan Tanda Praktek Psikolog saat memberikan jasanya, silakan segera menghubungi Himpsi Jaya.